Kamis, 05 Februari 2009

Riddah

Definisi Riddah (Kemurtadan)
Bila merujuk kitab-kitab fiqih, maka kita menemukan masing-masing dari keempat mazhab fiqih memuat suatu bab tersendiri mengenai hukum terhadap Murtad. Dari sini, ada beberapa definisi yang mereka sebutkan, al-Kasani dari mazhab Hanafi berkata, "Adapun rukun Riddah adalah keluarnya perkataan 'kafir' dari lisan, yang sebelumnya beriman, sebab Riddah adalah rujuk (berpaling) dari keimanan." Ash-Shawi dari mazhab Maliki berkata, "Riddah adalah kafirnya seorang Muslim dengan perkataan yang terang-terangan, atau perkataan yang menuntut kekafirannya, atau perbuatan yang mengandung kekafiran." As-Syarbini dari mazhab Syafi'i berkata, "Riddah adalah putus dari Islam dengan niat atau perbuatan, baik mengatakan tentangnya dalam rangka menghina, membangkang ataupun meyakini." Dan al-Bahuti dari mazhab Hanbali berkata, "Murtad secara syariat adalah orang yang kafir setelah keislamannya, baik melalui perkataan, keyakinan, keraguan atau pun perbuatan." Definisi-definisi tersebut bertemu dalam makna "Rujuk (berpaling) dari keimanan." Yaitu rujuk menurut standar makna secara bahasa dan juga syariat. Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Padahal kepadaNya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan."(QS.al-Ma-`idah:21).
Ringkasnya, Riddah adalah berpaling dari Islam, baik dengan keyakinan, perkataan ataupun perbuatan. Artinya, definisi ini sesuai dengan definisi iman, yaitu keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan.

Bagaimana Riddah Terjadi?
Manakala definisi iman sebagaimana yang definisikan para ulama Salaf adalah perkataan dan perbuatan, alias perkataan hati dan amalannya, perkataan lisan dan amalan anggota badan; maka definisi Riddah juga demikian, yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Riddah terkadang berupa perkataan hati, seperti mendustakan berita yang disampaikan oleh Allah subhanahu wata'aala atau keyakinan bahwa ada Khaliq (Pencipta) yang lain di samping Allah subhanahu wata'aala. Terkadang berupa amalan hati, seperti membenci Allah subhanahu wata'aala atau Rasul-Nya, membangkang dan sombong dengan tidak mengikuti Rasul-Nya. Terkadang berupa perkataan dengan lisan, seperti mencela Allah subhanahu wata'aala atau Rasul-Nya, atau mengejek Dinullah. Dan terkadang juga terjadi melalui amalan zhahir (yang kentara) berupa amalan-amalan anggota badan, seperti sujud kepada patung (berhala) atau melecehkan Mushaf.
Jika demikian pengertian Riddah tersebut, maka siapa saja yang pada dirinya terdapat sesuatu dari 'pembatal-pembatal' keislaman, maka ia adalah seorang yang keluar dari Islam (Murtad).

Hukuman Bagi Orang yang Murtad
Seorang yang murtad menurut syariat Islam harus dibunuh dengan memenggal batang lehernya. Yang menghalalkan darahnya adalah kekafirannya, yang sebelumnya beriman. Mengapa hukuman seperti itu yang dijatuhkan atasnya? Syaikhul Islam Ibn Taimiyah memberikan jawaban, "Sebab bila si Murtad itu tidak dibunuh, maka orang yang masuk ke dalam agama ini akan keluar lagi darinya. Artinya, membunuhnya merupakan upaya menjaga pemeluk agama dan menjaga agama itu sendiri. Hal itu dapat mencegahnya dari pembatalan (keimanannya) dan keluar darinya." Sebagai konsekuensi dari hukuman tersebut, maka ia pun tidak dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin, tidak mewariskan ataupun mewarisi, bahkan hartanya menjadi harta Fai` yang diserahkan ke Baitul Mal kaum Muslimin.
Di antara sekian banyak dalil atas hukuman ini, adalah hadits, "Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia." (HR.al-Bukhari)

Sikap Para Shahabat Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam dan Salaf
Para shahabat, demikian juga Tabi'in dan para ulama as-Salaf ash-Shalih, terutama para khalifah dan pemimpin Islam dari masa ke masa tetap konsisten dengan hukuman tersebut. Di antara bukti nyatanya adalah sikap Abu Bakar yang memerangi kaum Murtaddin (orang-orang yang murtad) di zamannya.

Riddah Di Zaman Ini
Sesungguhnya Riddah yang secara lantang diteriakkan para Zindiq zaman ini, seperti Salman Rusydi, Nisrina (Murtaddah Bangladesh), Nashr Abu Zaid (Murtad Mesir) dan orang-orang semisal mereka, jauh lebih keji dari Riddah yang telah dilakukan para pendahulu mereka seperti al-Hallaj dan al-Haitsi, Wallahul Musta'an.! Riddah yang dilakukan para Zindiq, dulu dan sekarang, bukan hanya sekedar Riddah saja, tetapi juga telah menggabungkannya dengan sikap memerangi Allah subhanahu wata'aala dan Rasul-Nya, berlebihan dalam memusuhi dan mencela agama Allah subhanahu wata'aala.

Jenis-Jenis Riddah
Riddah ada dua jenis: Pertama, Riddah Mujarradah (Kemurtadan Murni). Kedua, Riddah Mughallazhah (Kemurtadan Berat), yang oleh syariat harus diganjar hukum bunuh. Berdasarkan dalil-dalil syariat, maka terhadap kedua jenis riddah itu wajib dijatuhi hukuman bunuh. Hanya saja, dalil-dalil yang menunjukkan gugurnya hukum bunuh karena bertaubat hanya terarah kepada jenis pertama, sedangkan terhadap jenis kedua, maka dalil-dalil menunjukkan wajibnya membunuh pelakunya, di mana tidak terdapat nash maupun Ijma' yang menggugurkan hukum bunuh tersebut.

Sebab-sebab Terjadinya Riddah
Jahil terhadap ajaran agama Allah subhanahu wata'aala dan lemahnya keyakinan di kalangan kebanyakan umat Islam.
Munculnya paham Irja` (paham yang dianut kaum Murji`ah) di zaman ini. Paham Irja` menyatakan iman hanya dengan pembenaran saja (tanpa amal). Imbasnya, menurut mereka, kekafiran alias Riddah juga hanya merupakan pendustaan saja, sehingga seseorang tidak pernah dikatakan Murtad, kecuali bila ia mendustakan lagi mengingkari. Jadi, menghina Allah subhanahu wata'aala, Rasul-Nya atau dien-Nya bukanlah Riddah menurut mereka.
Disingkirkannya syariat Allah subhanahu wata'aala di kebanyakan negara-negara Muslim.
Kekacauan pemikiran yang kini menghinggapi dunia modern, keguncangan dalam konsep dan kontradiksi yang kentara dalam keyakinan dan prinsip. Wallahu A'lam!

Tidak ada komentar: